SELAMAT DATANG | About Us | Contact | Register | Sign In

Beberapa Teknik Dasar Seo Blog Untuk Pemula

Bagi pemula, mungkin perlu basic atau dasar untuk mempelajari SEO. Belajar SEO ( Search engine optimization ) untuk blogger pemula memang harus dibedakan dengan pembelajaran SEO tingkat lanjut.

Tampilkan postingan dengan label Teori. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teori. Tampilkan semua postingan

Sosiologi dalam sudut pandang Max Weber

Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg dan pada tahun 1889 menulis disertasi berjudul “a Contribution to the History of Medieval Bussines Organizations”. Setelah menyelelaikan studinya ia mengawali karirnya sebagai dosen ilmu hokum –mula-mula di Universitas Berlin, kemudian di Universitas Freiburg, dan setelah itu di Universitas Heidelberg.

Menjelang akhir masa hidupnya Weber mengajar di Universitas Wina dan Universitas Munich. Selain mengajar ia pun berperan sebagai konsultan dan peneliti, dn semasa Perang dunia I mengabdi di angkatan bersenjata Jerman.

Weber merupakan seorang ilmuan yang sangat produktif dan menulis sejumlah buku dan makalah. Salah satu bukunya yang terkenal ialah “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” pada tahun 1904. Dalam buku ini ia mengemukakan tesisnya yang terkenal mengenai keterkaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Menurut Weber muncul dan
berkembanganya kapitalisme di Eropa Barat berlangsung bersamaan dengan perkembangan Sekte Kalvinisme dalam agama Protestan.

Argumen Weber adalah sebagai berikut: “ajaran Kalvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur –sesuatu yang hanya dapat dicapai dengan kerja keras”.

Karena umat Kalvinis bekerja keras, antara lain dengan harapan bahwa kemakmuran merupakan tanda baik yang mereka harapkan dapat menuntun merka ke arah Surga, maka mereka pun menjadi makmur. Namun keuntungan yang mereka peroleh melalui kerja keras ini tidak dapat digunakan untuk berfoya-foya atau bentuk konsumsi berlebihan lain, karena ajaran Kalvinisme mewajibkan hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan dan foya-foya.

 Sebagai akibat yang tidak direncanakan dari perangkat ajaran Kalvinisme ini, maka para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka peroleh dari hasil usaha tidak dikonsumsikan melainkan ditanamkam kembali dalam usaha mereka. Melalui cara inilah, menurut Weber, kapitalisme di Eropa Barat bekembang.

Sumbangan Weber yang tidak kalah pentingnya ialah kajianya mengenai konsep-konsep dasar dalam sosiologi. Dalam uraian ini weber menyebutkan pula bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupaya memahami tindakan sosisl. Ini tampak dari definisi berikut ini:

Sociology… is a science which attempts the interpre tive understanding of social action in order thereby to arrive at a casual explanation of its course and effects (Weber, 1964:88)
Arti penting tulisan ini ialah bahwa dikemudian hari tulisan ini menjadi acuan bagi dikembangkanya teori sosiologi yang membahas interaksi sosial. Namun yang perlu juga dikemukakan di sini ialah bahwa pendekatan sosiologi yang diusulkan Weber dalam tulisan ini ternyata tidak menjadi tuntunan baginya untuk melihat masyarakat.

Tulisan-tulisan Weber yang lain –seperti bukunya mengenai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, mengenai soiologi agama, Mengenai Agama Yahudi, Mengenai Agama India.Mengenai Agama China dan sebagainya tidak difokuskan pada interaksi sosial, melainkan pada masalah-masalah berskala besar dan berjangka panjang yang menyangkut masyarakat serta hubungan antar kelompok dan antar kelas yang terjadi di dalamnya.

Dari uraian singkat ini nampak bahwa salah satu sumbangan penting Weber bagi sosiologi disamping sumbangan pemikiranya berupa usaha menjelaskan proses perubahan jangka panjang yang melanda Eropa Barat- ialah usahanya untuk mendefinisikan dan menjabarkan pokok bahasan sosiologi. Wasalam (www.irwanteasosial.com)..****

Posted by Irwantea Sosial
Irwantea Sosial Updated at: Jumat, Juni 19, 2015

Generalisasi-generalisasi Antropologi

1. Kebudayaan
Dalam mengapresiasi budaya bangsa, setiap kebudayaan di samping memiliki kelemahan- kelemahan, kebudayaan itu juga memiliki keunggulan-keunggulan. Oleh karena itu tidak akan suatu bentuk kebudayaan yang sempurna.

2. Evolusi
Evolusi tidak terbatas pada bidang biologi saja, melainkan meluas pada bidang sosial dan kebudayaan.

Dalam bidang sosial kita mengenal evolusi univesal dari Herbert Spencer, dalam bidang keluarga dikenal evolusi keluarga J.J. Bachhoven, dalam bidang agama dan kepercayaan, dikenal evolusi animisme, religi dan magic dari E.B. Taylor dan J.G. Frazer, dalam bidang kebudayaan dikenal evolusi kebudayaan dari E.B. Taylor dan L.H. Morgan, serta dalam sosiokultural dikenal evolusi sosiokultural dari Sahlins & Harris. (Sanderson, 1995: 63).

3. Culture Area
Pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsur-unsur budaya lama ke arah pinggir sekeliling daerah pusat pertumbuhan budaya itu. Oleh karena itu jika hendak mencari atau meneliti unsur-unsur budaya kuno, maka tempat untuk mendapatkannya adalah di daerah-daerah pinggiran (Koentjaraningrat, 1987: 128).

4. Enkulturasi
Pada hakikatnya proses enkulturasi (proses mempelajari kebudayaan) seseorang terhadap budaya orang lain itu diperlukan, guna menumbuhkembangkan sikap toleransi dan harga- menghargai kebudayaan yang beragam dalam suatu pendidikan multikultural maupun pendidikan global.

5. Difusi
Bisa saja orang beranggapan bahwa dengan meluasnya unsur-unsur budaya megalith Mesir kuno, yang berada di kawasan Afrika, L.Tengah, Mesopotamia, India, Indonesia, Polinesia, sampai ke Amerika. Kemudian berkesimupalan bahwa telah terjadi proses difusi budaya heliolithic (Koentjaraningrat, 1987: 120).

6. Akulturasi
Dalam proses akulturasi biasanya budaya overt atau lahiriah jauh lebih mudah berkembang dibanding budaya covert atau tersembunyi (Linton, 1940: 458). .

7. Etnosentrisme
Pada setiap bangsa pada hakikatnya memiliki etnosentrisme atau penilaian baik terhadap sikap-sikap dan pola kebudayaannya kelompok sendiri, hanya intensitasnyalah yang berbeda- beda, ada yang hanya sedikit dan ada pula yang sangat etnosentris.. Suatu bangsa semakin tinggi etnosentrisme-nya, akan semakin memperbanyak saingan dan lawan dalam kehidupan di dunia internasioal.

8. Tradisi
Bagi pendukung antropologi aliran fungsionalisme, maka tradisi itu pada hakikatnya adalah aktivitas kebudayaan yang bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

9. Ras dan Etnik
Ras merupakan suatu konsep biologi yang valid. Ia tidak sekedar menggambarkan morfologinya yakni struktur fisik yang bisa diamati, melainkan juga komposisi genetic sub- sub bagian sepsis itu, seperti gen untuk golongan darah dan untuk protein-protein spesifik.

Sedangkan konsep etnis lebih merujuk kesatuan-kesatuan sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan, yang mempunyai arti/kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kapabilitas tiap ras dan etnis, tidak ada di dunia ini yang menjadi ras dan etnis yang superior atau inferior,

10 Stereotip
Berkembangnya prasangka dan stereotip antar etnik yang terjadi di Indonesia, merupakan salah satu faktor penyebab hambatan dalam mewujudkan multikulturalisme bangsa Indonesia, yang pada gilirannya akan memperlemah rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

11. Kekerabatan
Ikatan ibu dan anak bisa diamati da dinilai secara universal, tetapi peran ayah maupun ibu dalam masyarakat tradisional sangatlah bervariasi. Oleh karena itu sistem kekerabatan pada masyaraakat tradisional tidak bisa digeneralisir secara universal.

Namun demikian harus diakui bahwa gagasan yang hampir sama mengenai perkawinan yang menghindari tabu inses, keturunan yang memiliki hubungan darah, dapat diteliti pada masyarakat-masyarakat tradisional bahkan modern sekalipun.

12. Magis
Magis memang kejam, jahat, dan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak berkepentingan, tetapi perkembangan magis yang pernah mengalami masa-masa jayanya pada masa kehidupan primitif pada setiap masyarakat, tidak bisa dipandang sebagai masa lampau yang ”hitam” dan penghalang segi-segi keagamaan. Sebab masa primitif juga merupakan bagian penggambaran tahapan perkembangan umat manusia secara keseluruhan (Pals, 2001: 61).

13. Tabu
Pada setiap tatanan masyarakat tradisinal, tabu selalu ada. Dalam pandangan kaum funsionalis, tabu juga memiliki nilai-nilai kegunaan yang perlu dijaga oleh masyarakatnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya (Koentjaraningrat, 1987: 171)

14. Perkawinan
Pada semua masyarakat, untuk mengatur proses pemilihan pasangan dan perkawinan, memiliki norma atau peraturan yang begitu kompleks.

Upacara perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan, seorang pemuda dan pemudi dewasa secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan kewajiban baru. Ia juga menandakan adanya persetujuann masyarakat atas ikatan itu (Goode. 2002: 64).Wasalam (www.irwanteasosial.com).****

Posted by Irwantea Sosial
Irwantea Sosial Updated at: Sabtu, Juni 06, 2015

Teori Evolusi Keluarga J.J. Bachoven

J.J. Bachoven adalah seorang ahli hukum Jerman yang banyak mempelajari etnografi berbangsa bangsa (Yunani, Romawi, Indian, termasuk juga Asia Afrika). Karya monumentalnya ditulis dengan judul Das Mutterrecht atau ”Hukum Ibu” (1967).

Inti dari teori Evolusi Keluarga dari Bachoven tersebut bahwa ”Seluruh keluarga di seluruh dunia mengalami perkembangan melalaui empat tahap (Koentjaraningrat, 1987: 38-39)., yakni:




1. Tahap Promiskuitas; di mana manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, yang mana laki-laki dan perempuan berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok-kelompok keluarga inti belum ada pada waktu itu. Keaadaan tersebut merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.

2. Lambat-laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat. Oleh karena itu pada masa ini anak-anak mulai mengenal ibunya belum mengenal ayahnya. Di sinilah peran ibu merangkap sebagai sebagai kepala keluarga atau rumah tangga.

Pada masa ini pula hubungan/perkawinan antara ibu dengan anak dihindari, dengan demikian timbul adat exogami. Pada sistem masyarakat yang makin luas demikian dinamakan sistem matriarchate, di mana garis keturunan ibu sebagai satu-satunya ynng diperhitungkan.

3. Tingkat berikutnya adalah sistem patriarchate, di mana ayah menjadi kepala keluarga. Perubahan dari matriarchate ke partrirchate tersebut setelah kaum pria tidak puas dengan keadaan sosial yang mengedepankan peranan perempuan (ibu). Ia kemudian mengambil calon-calon istri dari kelompok yang bebeda untuk dibawa ke kelompoknya sendiri.

Dengan demikian keturunan yang mereka dapatkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria.Kejadian itulah yang secara lambat laun mengubah tradisi matrarchate ke patriarchate.

4. Pada tingkat yang terakhir, di mana terjadi perkawinan tidak selalu dari luar kelompok (exogami) tetapi bisa juga dari dalam kelompok yang sama (endogami), memungkinkan anak-anak-anak secara langsung mengenal dan banyak berhubungan dengan ibu dan ayahnya. Hal ini lambat laun sistem patriarchate mengalami perubahan / hilang menjadi suatu bentuk keluarga yan dinamakan ”parental”. Wasalam (www.irwanteasosial.com).****


Posted by Irwantea Sosial
Irwantea Sosial Updated at: Sabtu, Juni 06, 2015

Teori Upacara Sesaji Smith

Teori Upacara Sesaji Smith antropologi
W. Robertson Smith (1846-1894), adalah seorang ahli teologi, ilmu pasti, dan bahasa serta sastera Semit yang berasal dari Universitas Cambridge.

Tulisannya yang terkenal berjudul Lectures on Religion of the Semites (1889), Isi pokok buku itu yang erat dengankaitannya dengan teori sesaji tersebut.




menurut Koentjaraningrat (1987: 67-68) dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga gagasan penting mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya, sebagai berikut:

1. Gagasan pertama; di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi analisis yang khusus. Suatu hal yang menarik dalam banyak agama upacara itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya itu berubah.

2. Gagasan kedua; bahwa upaca religi atau agama tersebut, biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat (pemeluk religi atau agama), mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi keikusrtaan mereka dalam upacara itu memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda namun melalui kekuatan solidaritas sosial, mampu memberikan dorongan yang bersifat memaksa atas beberapa individu yang berbeda.

3. Pada prinsipnya upacara sesaji, di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, hakikatnya sama sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa.

Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa. Itulah sebabnya dalam upacara sesaji bukan semata-semata kehidmatan yang dicari, melainkan juga kemeriahan dan kekeramatan, disamping kehidmatan. Wasalam (www.irwanteasosial.com)*****

Posted by Irwantea Sosial
Irwantea Sosial Updated at: Sabtu, Juni 06, 2015

Teori Konflik Ibn Khaldun

Teori Konflik Ibn Khaldun
Ibnu khaldun dilahirkan di Tunisia pada abad 1332.  Silsilah keluarganya berasal dari daerah pertanian Hadramaut, sebelah selata jazirah Arab. Ibnu Khaldun sangat kaya pengalaman politik yang diperolehnya di Sepanyol , Afrika Utara dan dari berbagai posisi yang pernah disandanginya. Salah satu jabatan tersebut adalah hakim agung yang diembannya pada akhir usianya. Beliau meninggal pada tahun 1406 Masehi pada usia 74 tahun.

Ibnu Khaldun dipandang sebagai sosiologi sejati. Hal ini didasarkan pada pernyataan tentang beberapa perinsip pokok untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah. Prinsip yang sama juga dijumpai dalam analisis Khaldun  terhadap tmbul dan tenggelamnya negara-negara. Gejala-gejala sama akan terlihat pada kehifdupan orang-orang Badui, Barbar, Turki, dan Kurdi sebgai masyarakat pengembara  (nomad), dengan segala kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.

Faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku, negara dan sebagainya dalah rasa solidaritas atau hubungan antara masyarakat sebgai hasil peniruan dan pembauran.

Menurut nya , faktor-faktor inilah yang menyebabkna adanya ikatan dan usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan bersama yang terjadi antar manusia. Sehiingga kemudian dikenal  inti dari konsensi sosiologi In Khaldun  adalah dengan istilah "solidaritas sosial" atau ashabiyah.

Posted by Irwantea Sosial
Irwantea Sosial Updated at: Minggu, Februari 15, 2015
jurnalisme warga

 
Romeltea Media