- Masa Demokrasi Parlementer, berlangsung dari tahun 1945 (Proklamasi Kemerdekaan) s.d. tahun 1959 (Dekrit Presiden).
- Masa Demokrasi Terpimpin, dari tahun 1959 sampai tahun 1965 (jatuhnya Orde Lama)
- Masa Demokrasi Pancasila, tahun 1966 sampai sekarang.
Masa demokrasi parlementer ditandai oleh menonjolnya peranan parlemen dan partai-partai politik. Secara normatif, UUD 1945 lebih menganut sistem presidensial, namun sejak Bulan Nopember 1945 dengan keluarnya Maklumat Pemerintah Nomor X yang menganjurkan pendirian partai politik sebanyak-banyaknya, maka sesungguhnya telah terjadi penyimpangan konstitusional. Sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 memang menganut prinsip parlementer.
Dalam sistem parlementer ini tanggungjawab politik terletak pada Perdama Menteri beserta para menteri sebagai pembantunya. Sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara lebih berperan simbolis yang bersifat seremonial.
Ekses negatif dari sistem parlementer ini ternyata tidak mampu membina kekuatan-kekuatan politik secara konstruktif dan integral, sehingga banyak terjadi upaya / gerakan separatis di daerah, serta tidak bersatunya faksi-faksi dalam tubuh Konstituante yang berakibat tidak dapat diwujudkannya Konstitusi yang permanen. Sistem ini juga tidak mampu menjamin keberlangsungan pemerintahan secara sehat, yang justru sering ditandai dengan pergantian kabinet dalam waktu yang relatif pendek.
Kondisi-kondisi inilah yang mengakibatkan Presiden mengambil inisiatif untuk membubarkan Konstituante sekaligus memberlakukan kembali UUD 1945. Meskipun demikian, sistem demokrasi yang dianut bukan sistem Presidensial, melainkan demokrasi terpimpin (guided democracy). Dengan kata lain, pelanggaran konstitusional masih terus berlangsung.
Selanjutnya pada periode kedua, demokrasi dicirikan oleh dominasi Presiden, pembatasan peranan partai politik, perkembangan pengaruh komunis, serta meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Salah satu wujud konkrit dominasi Presiden ini adalah lahirnya Ketetapan MPRS No.III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Disamping itu, pada tahun 1960 Presiden membubarkan DPRD yang tidak menyetujui APBN yang diajukan kepadanya. Pimpinan DPR juga dijadikan sebagai Menteri, sehingga fungsinya sebagai alat kontrol eksekutif makin melemah. Kasus-kasus ini semakin memperparah pelanggaran terhadap UUD 1945.
- Tahapan terakhir dari sistem demokrasi di Indonesia ditandai oleh niat dan semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta untuk menghindarkan berbagai instabilitas di bidang politik dan ekonomi. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa era ini merupakan masa-masa paling demokratis, dengan melihat pada fenomena- fenomena sebagai berikut: DPR diberi fungsi kontrol, namun mekanisme recall (penggantian antar waktu) masih dipertahankan.
- Pimpinan DPR tidak lagi diberi jabatan menteri, namun merupakan tokoh-tokoh “partai” tertentu yang menjadi “kendaraan politik” bagi presiden, khususnya dalam setiap pelaksanaan Pemilu.
- ketetapan MPRS No.III/1963 dibatalkan, namun tidak ada kejelasan / ketegasan terhadap pasal 6 UUD 1945 tentang istilah “… dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
- Penghargaan terhadap HAM dan kekebasan berpendapat ditingkatkan, namun diterapkan regulasi politik dengan mengurangi jumlah partai menjadi hanya 2 parpol (PPP dan PDI), sementara Golkar merasa bukan parpol.
- Faktor stabilitas dan keamanan diprioritaskan, namun mengurangi ruang gerak masyarakat sipil yang tergusur oleh peran sosial politik ABRI.
- Prinsip Trias Politika ditegakkan, namun Presiden mempunyai determinasi yang amat kuat dalam penentuan / pengangkatan jabatan- jabatan politis.
0 comments:
Posting Komentar
You comment, I'll visit back your blog. If you have one :)