Fase pertama (Sebelum 1800)
Kedatangan Bangsa Eropa Afrika, Asia, dan Amerika selama 4 abad (sejak akhir abad ke-15 sehingga permulaan abad ke-16) membawa pengaruh bagi berbagai suku bangsa kertiga benua tersebut. Bersamaan dengan itu mulai terkumpul tulisan buah tagan para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan dalam bentuk kisah perjalanan, laporan dan sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terdapat berbagai pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-adat istiadat, susunan masyarakat, dan cirri-ciri fisik dari beragam suku bangsa baik di Afrika, Asia, Osenia (yaitu kepulauan di lautan teduh) maupun suku bangsa Indian, penduduk pribumi Amerika. Bahan deskripsi itu (disebut ‘etnografi’ dari kata ethos=bangsa) sangat menarik karena berbeda bagi bangsa Eropa Barat kala itu. Akan tetapi, deskripsi tersebut sering kali tidak jelas/kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang tampak aneh bagi mereka.
Selain itu, ada pula tulisan yang baik dan teliti. Kemudian dalam pandangan kalangan terpelajar di Eropa Barat timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu:
a. Ada yang berpandangan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya, melainkan manusia liar, keturunan iblis dan sebagainya. Dengan demikian timul istilah-istilah savages, primitives, untuk menyebut bangsa-bangsa tadi.
b. Adanya yang berpandangan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih murni, belum mengenal kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat waktu itu.
c. Adanya tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika pribumi tadi itu. Kumpulan-kumpulan pribadi tadi yang dihimpun menjadi satu, supaya dapat dilihat oleh umum, dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa.
Pada permulaan abad ke19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat dan cirri-ciri fisik bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar, demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahab pengetahuan etnografi tadi menjadi satu.
Fase Kedua (Kira-kira Pertengahan Abad kee-19)
Integritas yang sungguh-sungguh baru, timbul pada pertengahan abad ke-19. Karangan-karangan etnografi tersebut tersusu berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Masyarakat dan Kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangkau waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk masyarakat dan kebudayaa manusia yang tertinggi itu adalah bentuk masyarakat dan kebudayaan seperti yang hidup di Eropa Barat kala itu. Semuabentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa (oleh orang Eropa disebut primitive) dianggap sebagai contoh dari tingkat kebudayaan lebih rendah, yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan manusia zaman dahulu. Berdasarkan cara berpikir tersebut, maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi itu. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi tertentu, maka timbullah ilmu antropologi.
Kemudian timbul pula beberapa karangan hasil penelitian tentang sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi. Disini pun kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu dianggap sebagai sia-sia dan contoh-contoh dari kebudayaan manusia yang kuno sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu orang dapat menambah pengetahuan tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam fase perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal; dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga (Permulaan Abad Ke-20)
Pada permulaan abad ke-20, sebagian negara penjajah di Eropa berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa, maka ilmu anrtopologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting . Berkaitan erat dengan itu dikembangkan pemahaman bahwa mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu peting karena pada bangsa-bangsa itu pada umumnyamasih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat bangsa-bangsa Eropa. Suatu pengertian tentang masyarakat yang tidak kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang masyarakat yang kompleks.
Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai tadi, terutama berkembang di Inggris sebagai negara penjajah yang utama, dan juga hamper semua colonial lainnya. Amerika serikat pun yang bukan negara colonial, tetapi telah mengalam berbagai masalah yang berhubungan dengan suku-suku bangsa Indian penduduk pribumu Benua Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu antropologi yang baru tadi.
Dalam Fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
Fase Keempat (sesudah Kira-kira 1930)
Dalam fase ini ilmu anrtopologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Selain itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:
a. Timbulnya antipari terhadap kolonialisme sesudah perang Dunia II.
b. Cepat hilangnya bangsa-bangsa perimitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah perang Dunia II memang hamper tidak ada lagi di muka bumi.
Proses tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah hilang kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, yaitu yang pertama, kedua, dan ketiga, berupa bahan etnografi dan banyak metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, tetapi dipakai sebagai landasan bagi perkembangan yang baru. Perkembangan itu terutama terjadi di universitas-universitas di Amerika Serikat, tetapi menjadi umum di negara-negara lain juga setelah tahun1951, ketika 60 orang tokoh ahli antropologi dari berbagai negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet), mengadakan suatu symposium internasional untuk meninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru itu.
Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930, memang tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitive yang tinggal di benua-benua di luar Eropa saja, tetapi sudah beralih kepada manusia di daerah pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudur keragaman fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaan. Dalam hal itu, perhatian tidak hanya tertuju kepada penduduk daerah pedesaan di luar Eropa, tetapi tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa (seperti suku-suku bangsa Soami, Flam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk Pegunungan Sierra dan lain-lain), dan kepada penduduk beberapa kota kecil di Amerika Serikat (Middletown, Jonesville dan lain-lain).
Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademikal adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena didalam Praktik ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku-bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.